Ini Teologi Lingkungan dari Perspektif Berbagai Agama
Jakarta (Kemenag) – Ikatan Penyuluh Agama Republik Indonesia (IPARI) menggelar webinar bertema ‘Teologi Lingkungan Perspektif Agama-agama di Indonesia’. Giat yang berlangsung Jumat (31/5/2024) ini menjadi bagian dari rangkaian peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-1 IPARI.
Sehari sebelumnya, IPARI juga menggelar gerakan tanam sejuta pohon, zero plastic, serta literasi teologi lingkungan di Hutan Mangrove, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Barat.
Perspektif Islam
Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kemenag, Kamaruddin Amin menjelaskan teologi lingkungan dalam Islam. “Dalam ajaran Islam, pelestarian lingkungan dianggap sebagai kewajiban bagi umat Muslim. Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 72 menjelaskan bahwa manusia memiliki amanat yang sangat berat dari Allah SWT di kehidupan dunia. Beratnya amanat ini, sampai-sampai langit, bumi, dan gunung-gunung tak mau menerima amanat karena khawatir mengkhianatinya,” papar Kamaruddin.
Ayat itu, menurut Kamaruddin, menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia memiliki dua amanat yakni amanat langit (teologis atau ilahiyah) dan amanat bumi (sosiologis atau insaniyah). “Manusia memiliki amanat untuk mengelola dan melindungi bumi. Pelestarian bumi menjadi tanggung jawab manusia sebagai khalifah, bukan hewan dan malaikat,” paparnya.
Perspektif Kristen
Dirjen Bimas Kristen, Jeane Marie Tulung mengatakan, Alkitab mengajarkan bahwa alam semesta merupakan karya Tuhan yang agung dan indah. Hal itu, lanjutnya, perlu dihormati dan dilestarikan.
Jeane menjelaskan, dalam Kitab Kejadian, Allah menciptakan langit, bumi, laut, dan segala isinya dengan penuh kebijaksanaan dan kasih sayang. Manusia diberi tanggung jawab untuk memelihara dan mengurus ciptaan Allah ini. Hal tersebut dilakukan sebagai tanda penghargaan atas karunia-Nya.
“Salah satu konsep yang penting dalam ajaran kitab suci tentang lingkungan adalah konsep stewardship atau kepengurusan. Artinya, manusia dipercayakan untuk menjadi pengurus yang bijaksana atas ciptaan Tuhan,” pungkas Jeane dalam paparannya.
Perspektif Katolik
Dirjen Bimas Katolik, Suparman mengatakan, manusia memiliki kewajiban untuk merawat lingkungan. Hal itu dituangkan melalui Laudato Si yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada 2015. “Ada kepentingan bersama antara alam dengan manusia yang saling melengkapi,” tambahnya.
Dijelaskannya, manusia dan alam semesta diciptakan Tuhan untuk membahagiakan manusia. Kebahagiaan manusia tidak satu arah, tetapi dua arah. Artinya, kebahagiaan menjadi sarana bagi manusia untuk memuji dan memuliakan Tuhan.
Untuk memperoleh kebahagiaan tersebut, Supardi menjelaskan, manusia harus bekerja keras, disiplin, dan beretika untuk mengolah alam semesta sehingga menjadi tempat kediaman yang nyaman, aman, dan sejahtera.
Perspektif Buddha
Dirjen Agama Budha, Supriyadi mengatakan, dalam konteks ajaran Buddha, terdapat banyak pesan moral, nilai, dan ajaran yang mendorong pada spirit pelestarian alam dan lingkungan hidup. Menurutnya, kisah kehidupan Buddha tidak pernah lepas dari kerelaan dalam merawat dan melestarikan alam. Salah satunya adalah peristiwa yang disebut dalam kitab suci sebagai animisa sattaha, di mana Buddha pasca pencerahan secara simbolik berterima kasih terhadap pohon Bodhi yang menaunginya, dengan menatap pohon itu penuh kasih selama satu minggu.
Dikatakannya, nilai moral berupa terima kasih terhadap pohon dalam konteks yang lebih luas menunjukkan bahwa ada relasi mendalam antara manusia dengan alam sekitarnya. Manusia tidak dapat hidup tanpa alam. Sebaliknya, kelestarian alam juga dipengaruhi perilaku manusia.
“Pesan Dhamma dalam konteks kepedulian terhadap lingkungan hidup dapat dijumpai pada berbagai teks klasik ajaran Buddha. Dalam Dhamma pada ayat 49 tersurat larangan terhadap eksploitasi alam yang berlebihan dan merusak. Cara memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup diibaratkan seperti perilaku lebah yang tidak merusak bunga dalam memperoleh madu, melainkan justru membantu proses penyerbukan. Ada simbiosis mutualisme atau hubungan saling menguntungkan antara manusia dengan alam sekitar, hubungan saling menguntungkan ini harus menjadi kode etik dan pedoman,” paparnya.
Selain Dhammapada, kata Supriyadi, dalam Vanaropa Sutta secara eksplisit menyebutkan bahwa melestarikan taman (aramaropa) maupun hutan (vanaropa) sebagai sebuah kebajikan luhur yang berpahala besar.
Perspektif Hindu
Dosen Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Denpasar, I Gede Suwantana menjelaskan, agama Hindu mengajarkan bagaimana memperlakukan bumi. Salah satu konsep dasar dalam agama Hindu, yakni Tat Twam Asi yang berasal dari bahasa Sanskerta.
Tat artinya: itu (ia), Twam artinya: kamu, dan Asi artinya: adalah. Tat Twam Asi adalah kata-kata dalam filsafat Hindu yang mengedepankan aspek sosial yang tanpa batas karena diketahui bahwa “ia adalah kamu” saya adalah kamu dan segala mahluk adalah sama memiliki atman yang bersumber dari Brahman. Sehingga, apa pun yang ada di luar diri kita secara prinsip esensinya adalah sama dengan diri kita sendiri. “Jadi secara analogi, apa pun yang ada di alam semesta ini prinsip pembentuknya adalah sama. Menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri,” tuturnya.
Ia menjelaskan, ajaran ini dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk kepedulian. Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan hidup yang didorong oleh keinginan (kama) manusia yang bersangkutan. Pada saat inilah manusia tidak boleh memperlakukan saudaranya semena-mena. Alam semesta ini, lanjutnya, adalah saudara.
“Karena mereka semuanya adalah saudara, kita secara otomatis mesti memperlakukan mereka secara sama seperti halnya memperlakukan diri kita sendiri,” paparnya.
Perspektif Khonghucu
Rohaniawan Khonghucu, Ws Sugandi Surya Atmaja mengatakan, kehidupan manusia sangat bergantung kepada alam sekitar, seperti air, udara, tanah, bumi, dan semua makhluk hidup di dalamnya. Menurutnya, di dunia ini, manusia adalah satu-satunya makhluk hidup yang dapat aktif berperan dalam merusak sekaligus merawat alam semesta agar dapat tetap lestari.
Dalam agama Khonghucu, agama bertujuan untuk membimbing manusia agar dapat memuliakan hubungan dengan Tuhan, alam manusia, dan alam semesta. San Cai (Tian Di a Ren A) dalam Kitab Yi Jing menjelaskan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Tian), manusia dengan bumi (Di), dan sesama manusia a (Ren). Ajaran Khonghucu mengajarkan bahwa berbakti tidak hanya dilakukan kepada orang tua dan guru, tapi juga kepada alam semesta sebagai sumber kehidupan. (An/Mr) [kemenag.go.id | eko triyanto]