Ramadan Momentum Swasembada Pangan

Oleh: Eko Triyanto
“Wahai Rasulullah, mata pencaharian (kasb) apakah yang paling baik?”
Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad)
Para Nabi dan Rasul juga bekerja. Mereka memiliki pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan sehari-hari. Mereka tidak mengandalkan upah dari dakwah yang mereka lakukan. Begitu pula Rasulullah Muhammad SAW., pernah menjadi penggembala domba, pernah pula menjadi pedagang yang dipercaya.
Beberapa hari ini, media masa ramai dengan kabar pabrik-pabrik yang tutup karena bangkrut maupun pindah ke luar negeri. Ada pabrik tekstil di Jawa Tengah sampai pabrik alat music di Jawa Barat. Lebih dari sepulug ribu pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara di sisi lain, beredar kabar rencana swasembada pangan yang menjadi kebijakan pemerintah.
Lazimnya, orang mencari uang, dengan bekerja memiliki tujuan mencukupi kebutuhan. Paling utama digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, makanan. Selebihnya untuk Kesehatan, Pendidikan, papan, sandang dan sebagainya. Maka jika seseorang mampu mencukupi kebutuhan pangan, meskipun tidak punya uang sekalipun, insyaAllah mereka akan tetap hidup.
Dulu, orang tua atau kakek-nenek kita terbiasa mencukupi kebutuhan pangan dengan menanam. Tidak hanya di ladang atau sawah, tetapi juga di pekarangan rumah. Dimanfaatkan dengan menanam aneka umbi atau bahan sayuran. Sehingga mereka bisa mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri. Selain murah karena tidak harus membeli, juga lebih sehat karena tidak terpapar bahan kimia.
Kondisi ini sekarang berbeda, dengan alasan praktis atau apapun. Kita lebih suka membeli bahan makanan ketimbang berusaha swasembada. Padahal kita belum tahu seperti apa perlakuan bahan pangan yang kita beli itu. Sangat mungkin terpapar bahan kimia dari pupuk atau pestisida.
Sekarang, banyak lahan sawah dan pekarangan yang dibiarkan menganggur. Tidak produktif. Sementara para pemiliknya sebenarnya masih memiliki sumberdaya untuk mengolah. Ini bisa saja menjadi tanda ketidaksyukuran kita atas nikmat yang Allah berikan. Tidak heran jika pada masa Umar bin Abdul Aziz, tanah-tanah yang menganggur akan diambil oleh negara untuk dimanfaatkan dengan biaya dari Baitul Mal. Sehingga tanah-tanah yang terbengkalai menjadi produktif. Sebagai lahan pertanian yang menghasilkan aneka rupa bahan pangan.
Dalam Islam bercocok tanam merupakan kebaikan. Apalagi jika hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan atau disedekahkan. Jika pun gagal panen karena serangan hama, maka tetap akan dihitung sebagai sedekah.
Dari Anas bin Malik r.a., ia berkata): Rasulullah SAW. bersabda, “Tak seorang pun muslim yang menanam pohon atau menabur benih tanaman, lalu (setelah ia tumbuh) dimakan oleh burung, manusia, atau hewan lainnya, kecuali akan menjadi sedekah baginya (HR. Bukhari).
Dalam hadis lain ditegaskan, “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Maka sesungguhnya, swasembada pangan itu bisa kita mulai dari diri kita. Tanpa harus menunggu proyek-proyek ambisius yang terkadang justru membabat hutan sebagai taruhan untuk rencana yang belum tentu berhasil. Mari menanam apa yang biasa makan dan memakan apa yang bis akita tanam. Jadikan makanan sebagai obat dan obat sebagai makanan kita.
(Catatan Ramadan #4)